Refleksi: Haruskah Selalu Menjadi Orang Lain?

Jihan Kristal Yasmin
3 min readApr 4, 2024

--

Artikel kali ini berisikan sedikit keresahan saya mengenai diri saya sendiri.

Saya bukanlah orang yang pandai untuk bersikap bodo amat terhadap orang lain. Ini adalah masalahnya. Saya pula sering sekali membandingkan diri saya dengan orang lain yang saya anggap dia ‘lebih’ dari saya.

Hal tersebut membuat saya sering kali merasa bahwa saya tidak layak dan tidak pantas karena tidak sesuai dengan ‘standar’ mereka.

Mereka adalah orang-orang yang sudah mencapai pendidikan doktoral di usia 25 tahun, mereka yang sudah publikasi artikel ilmiah berkali-kali bahkan sudah mencapai jurnal internasional terindeks scopus Q1, mereka yang mampu memenangkan lomba-lomba tingkat nasional, mereka yang mampu berkontribusi dengan baik pada suatu kegiatan berskala besar, mereka yang banyak memiliki medali emas, mereka yang memiliki karir yang bagus, mereka yang hidupnya seimbang, dan lain sebagainya.

Dengan sangat bodoh, saya malah berfokus pada apa yang bagus dari mereka tanpa memahami ada rintangan yang luar biasa yang telah mereka lalui. Ketika saya mecoba meraih apa yang mereka raih dan saya melalui rintangan yang sebelumnya telah mereka lalui, saya malah merasa kerdil. Lagi-lagi saya merasa bahwa saya tidak mampu dan tidak layak. Lagi-lagi saya kalah dengan perasaan dan pikiran negatif saya. Saya kembali jatuh ke dasar kebodohan yang dulu menjadi tempat bersemayam saya.

Saya memang sudah meraih beberapa dari yang saya ingin raih. Namun ada momen di mana saya merasa hampa dan bertanya pada diri saya sendiri, “Lu ngelakuin ini untuk apa sih sebenernya? Validasi? Balas dendam? Atau apa?”.

Seketika rasanya waktu berhenti berputar.

Pertanyaan selanjutnya adalah “Apa nggak capek terus-terusan menjadi orang lain? Kenapa sih harus banget gitu ada di posisi mereka? Biar apa? Biar dibilang sukses? Atau lu sendiri yang kurang bersyukur dengan apa yang udah lu miliki?”.

Pertanyaan itu menampar saya. Benar saja, semua yang saya lakukan ini niatnya untuk apa?

Saya berpikir memang ada yang salah dari niat awal saya. Ada pula yang salah dari cara saya mengerjakan semua ini. Pada kondisi tertentu, saya tidak melibatkan Tuhan dalam urusan dunia saya. Sedangkan Tuhanlah pemilik dunia ini. Mengapa saya begitu angkuh sehingga tidak ingin memohon pertolongan kepada Sang Pemilik?

Benar adanya memang kita tidak boleh membandingkan diri dengan orang lain karena jalan dan kapasitas kita yang berbeda. Namun akhirnya saya memahami bahwa jangan sampai pula kita tidak berani belajar dan mengembangkan diri untuk menjadi lebih baik. Perbaiki hati dan niat itu yang utama. Setelahnya hal-hal baik akan datang menghampiri ketika diri kita siap menerima semua kebaikan itu.

Niat adalah kunci dari semua urusanmu.

Ketika saya berusaha menjadi sama seperti orang-orang yang menurut saya sukses, hebat dan keren, niat saya saat itu adalah untuk menjadikan diri saya sama seperti mereka. Jelas itu adalah hal yang salah. Saya tetaplah diri saya dan tidak bisa menjadi orang lain sampai kapan pun.

Namun bagaimana jika niatnya kita rubah sebagai bentuk upaya mengembangkan diri dan potensi yang dimiliki sesuai dengan apa yang kita sanggupi sehingga kita mampu berkontribusi di jalan kita masing-masing? Terdengar lebih baik dan lebih ringan di hati, bukan?

Apa pun yang sedang kita upayakan, kita niatkan sebagai bentuk upaya memperbaiki diri, mengembangkan diri dan menjadikan diri kita sebagai pribadi yang lebih bersyukur dengan segala hal baik kecil mau pun besar yang telah kita miliki. Hal ini akan lebih membuat kita merasa lebih berharga dan layak untuk diterima oleh diri kita dan juga orang lain.

Bogor, 05 April 2024

--

--

Jihan Kristal Yasmin

Department of Mathematics • Data enthusiast • Author • Research Assistant